Indonesia, seperti juga di negara lain, masih memandang aplikasi asing atau sering disebut over the top sebagai ancaman bagi kelangsungan industri telekomunikasi di negara masing-masing.
Jadi ancaman dan musuh dalam selimut karena baik operator maupun regulator seakan tak berkutik menghadapi fenomena tersebut, sementara tuntutan dari pelanggan sangat tinggi.
Mereka menyebut dirinya over the top, sengaja supaya regulator tidak ikut mengaturnya, keluh anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Muhammad Ridwan Effendi kepada merdeka.com, Senin (20/1).
Di Amerika Serikat, lanjut Ridwan, setelah melalui perdebatan sengit yang memakan waktu cukup lama, mereka telah berhasil menerapkan konsep net-neutrality, di mana para penyelenggara jaringan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap isi dari informasi yang disalurkan di jaringannya.
Menurut Doktor lulusan Waterloo Kanada itu, permasalahannya, kalau di Amerika Serikat, pola aliran uangnya akan tetap ada di sana.
Nah kalau di Indonesia, penyelenggara jaringan yang sudah berinvestasi besar, masa harus merelakan jaringannya dilewati trafik yang besar dari sana, tanpa boleh mendapatkan revenue darinya? Atau masa uangnya harus dialirkan ke Amerika semua, karena kebanyakan para penyelenggara OTT berada di sana, ujar Ridwan.
Dengan demikian, tambahnya, Indonesia tidak perlu meniru konsep net-neutrality yang dikembangkan Amerika Serikat.
Masyarakat Telematika Indonesia (Matel) sendiri menilai aplikasi asing atau OTT tidak perlu diatur regulator dan biarkan diserahkan sesuai mekanisme pasar atau self regulated.
Source:http://www.merdeka.com/
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Telekomunikasi
dengan judul OTT is an enemy in the blanket. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://tercerdas.blogspot.com/2014/01/ott-is-enemy-in-blanket.html. Terima kasih!